Mengenang seorang teman kuliah yang telah tiada yang sudah memberi warna dan makna
Jejaknya tercecer di sepanjang tepi kali. Ada semak dan pohon kecil patah terkulai. Rerumputan liar saling tindih, juga ilalang tersibak lunglai. Kacang-kacang pembunuh ilalang tampak tertindas. Masih terbersit hembusan nafas yang tergesa-gesa seperti nafas para pemburu mengejar mangsa. Tampak sosok sedang bersandar pada sebatang tunggul hitam di pinggir kali itu.
Ia “terdampar” ketika mentari seperti bertengger di dahan jati. Udara panas dan bau dari cerobong raksasa menyesak dan menyengat. Daun kelapa sawit saling bertabrakan tertiup angin. Langit seperti warna ungu kelabu tertumpah pada kanvas sang pelukis. Sementara itu, kaki sosok tadi mengeluarkan bau darah membusuk. Matanya tampak basah kelu kuyu. Burung-burung menyepikan diri ke negeri seberang.
Air terus mengalir, di depannya. Meliuk-liuk meraba lekukan sungai. Riang lincah sepanjang musim. Ajaib. Menghantam lumut di bebatuan. Menggandengkan pasir pada aliran. Mendesir bagaikan hujan badai di padang gurun. Ramah dan tulus menyatu dengan limbah. Terus mengalir dan mengalir, seolah-olah tidak merasai keretap jantungnya, juga sinar matanya.
Ia terdiam seperti patung lusuh tertanam di pojok kota kumuh. Lama sekali. Tampaknya ia telah menjejaki pinggir kali yang begitu panjang. Dari muara hingga ke hulu. Apa yang dilakukannya?
Ia menatap air yang terus beriak lincah mengalir tetapi Ia tidak melihatnya. Ia mendengar gemericik air menghantam bebatuan tetapi ia tidak mendengarkannya. Ia menyandarkan raganya pada tunggul, tetapi ia tidak merasainya. Ia menanti sesuatu tetapi tidak menginginkannya.
Sungai kecil itu terus mengalir. Namun, ia masih “tertanam” di sana. Keringatnya beku di badan. Pakaiannya seperti sudah menyatu dengan tubuhnya. Kadang-kadang telinga bergetar tidak kuasa menahan ruangan mesin pabrik, menggelegar membahana. Kadang juga matanya menyipit menahan udara pedas dan pekat. Kadang juga tenggorokannya kerontang menahan dahaga, meski ada air beriak di depannya. Kadang juga ia menggenggam hampa jemari tangannya yang keriput.
Ia terpaksa berhenti, setelah berhari-hari menjelajahi hamparan luas pemukiman. Menjenguk dengan teliti setiap lubang sumur tetangga. Menapaki dengan hati-hati setiap relung sunyi gang-gang gelap ganas. Menanyai setiap ordang yang berlintasan dengannya. Bertelut kusyuk di hadapan Tuhan. Merindu dan merintih di setiap detak jarum jam.
Tetapi, dengan sengaja ia menunggu. Menunggu dengan sejuta harap, sesuatu yang tak menentu. Tampak dari sinar matanya yang kadang redup, kadang berbinar, kadang juga kuyu menyimpan teka-teki.
Di tebing sungai itu, ia akan membiarkan senja memasuki malam untuk menanti seseorang atau sesuatu apalah. Ia tidak peduli meski hari akan berganti.
Wajahnya masih menghadap ke sungai itu. Ya, sungai yang menjadi teror bagi setiap manusia. Yang memisahkan pemukiman menjadi dua kubu. Kubu Rasau Jaya dengan Tiong Perkasa. Yang menghilangkan jejak-jejak bocah-bocah nakal. Yang mengubah tubuh mungil menjadi kembang dan mengerikan. Siapapun tidak mengira sungai itu mengancam. Karena ia jernih seperti sungai lainnya. Meski limbah pekat menggaulinya.
Rimbunan daun kelapa sawit terkadang menghalangi tatapan matanya. Angin senja meniup-niup “rongsokan” rambutnya yang terurai kumuh. Namun, ia masih mengintai. Ia tidak mengintai tetapi…
Sekejap terlintas suara yang memanggilnya: “Ma, mama, aku pulang, aku pulang”, lalu muncul sosok mungil dari kejauhan berseragam merah putih. Dengan semangat disergapnya ubi rebus di dalam bakul. Tetapi mungkin kini, ubi rebus itu tergeletak lapuh di makan rayap dan ngegat. Atau, nyanyian bocah lelakinya dengan suara jernih melengking tinggi menyapu angkasa. Beberapa tetes air beku berjingkrak keluar dari celah-celah kelopak matanya, dibiarkannya.
Aku masih punya sedikit tanah di kampung. Mestinya tidak kutinggalkan. Tetapi sulit juga memilih. Ikut transmigrasi salah, tidak ikut malah tambah salah. Sudah terlanjur menyerahkan tanah pada pemerintah. Kalau tidak ikut, malapetaka. Seperti keluargaku yang lainnya. Tetapi aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku pengecut. Bapakku juga pengecut. Eh, eyangku juga. Sepertinya memang sudah nasibku jadi pengecut. Mudah-mudahan “tidak” pada anakku, Gayu.
Kadang juga lucu. Bila ingat sesuatu ingin rasanya tertawa lepas. Masak orang asli bertransmigrasi di kampungnya sendiri. Kalau tidak demi Gayu anakku itu, pasti aku sudah menyadap karet seperti dulu. Di kampung. Dingin. Sejuk. Sepi. Alami. Tentu tubuhku tidak hangus, tiap hari dilalap sinar mentari. Tulang-tulang rasanya begitu cepat menua. Setiap hari pergi-pulang ke kapling sawit. Menyiangi. Memupuki. Meracuntikuskan. Menyemprot. Memanen. Capek. Bosan. Muak. Brengsek.
Ah….sudahlah. tapi Gayu sekarang di mana? Ia masih kecil. Suka bermain di sungai itu. Sumur di samping rumahku sebetulnya bersih. Tetapi ia anak desa, asing dengan sumur. Ia suka bermain di sana berhari-hari, meski hanya sendiri.
“Aku takut sekali…..”
Malam merayap. Gelap menyelubungi tepi sungai itu. Suara jengkring menunggu kesunyian pemukiman. Air terus mengalir, di depannya. Meliuk-liuk meraba lekukan sungai. Riang lincah sepanjang musim. Menghantam lumut di bebatuan. Menggandengkan pasir pada aliran. Mendesir bagaikan hujan badai di padang gurun. Ramah dan tulus menyatu dengan limbah. Terus mengalir dan mengalir, seolah-olah tidak merasai keretap jantungnya, juga sinar matanya.
Ia melangkah, meski tidak sempurna. Mengitari tebing licin dan juga berbahaya. Menyibak rimbunan semak yang menyatu dengan pohon kelapa sawit. Masih tersisa beberapa relung yang belum dijejakinya. Ia memasang telinganya, barangkali hadir kata seperti: “Ma, Mama, aku pulang, aku pulang”.
Ia berusaha membuka kedua matanya yang telah mengelepak. Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Langkahnya terganjal pada suatu lekukan sungai. Di bawah bayang remang-remang cahaya rembulan yang terpantul di atas air, tampak sesuatu terapung. Sekilas seperti tubuh manusia, namun juga seperti ranting pohon yang patah.
Ia berusaha mendekat dengan perlahan. Membiarkan kedua kakinya basah menyelami sungai. Tidak terlalu dalam. Menjejaki bebatuan licin dan tajam. Menghampiri sosok yang terganjal melintang di batu besar di tengah-tengah sungai itu.
Ia memberanikan diri mendekatinya, melawan tumpuan arus menghantam tubuhnya. Ia hampir meraih sosok itu, tetapi semakin dekat sungai justru semakin dalam. Air sudah menggenangi lehernya. Nyaris ia terpeleset pada batu licin yang tertanam di dasar. Air semakin deras, dingin, mengancam. Jangan-jangan ular liar mematoknya. Atau kepiting, lintah atau apa sajalah. Tetapi tidak mungkin. Sungai itu telah lama kosong. Kehidupan di dalamnya telah lama punah. Sejak gemuruh membahana membelah angkasa berikut asap pekat mendupai mega. Terpaksa ia mengurungi niatnya mendekati sosok itu.
Malam semakin menjauh. Langit tampak menghitam. Cahaya bulan meredup. Sebentar lagi menghilang di balik mendung. Tampaknya langit akan mengguyuri semesta. Bila ya, tentunya sosok itu akan hanyut dan menghilang di telan arus deras.
Sayup-sayup suara mesin pabrik masih menggetarkan kedua telinganya, bertindih dengan riuhnya arus mengalir. Kadang juga matanya menyipit menahan udara pedas dan pekat. Kadang juga tenggorokannya kerontang menahan dahaga, meski air nyata merendaminya. Kadang juga ia mengatupi kedua ujung bibirnya rapat-rapat. Ia gamang mau meneruskan langkah.
Di atasnya berdecit burung pemakan bangkai. Juga bunyi dengung lalat-lalat mengerumuni sosok itu menambah riuhnya malam. Melintasi kepalanya dengan sibatan buas, seperti rudal mengincar sasaran. Riak air menghantam bebatuan, timbul tenggelam.
Dengan niat yang tersisa, ia berusaha mencapai tebing, melawan derasnya arus. Barangkali istirahat sejenak. Menanti bulan kembali tersenyum dalam sisa-sisa malam. Juga menghimpun tenaga, meski berhari-hari perutnya tidak disinggahi butiran nasi.
Lama ia terpaku menatap sosok itu yang masih terjagal di batu besar itu. Bingung. Penasaran. Takut. Senang? Bulu kuduknya meremang. Seluruh tubuhnya tampak bergetar. Dibenaknya hadir kembali “Ma, Mama, aku pulang, aku pulang”. Juga, ubi rebus yang tergeletak lapuh di bakulnya. Dimakan rayap dan ngegat. Serta bangunan megah bercerobong raksasa di hulu sungai itu terus bergemuruh mengasapi semesta raya. Mungkinkah di sana itu Gayu anaknya?
Bayangan itu begitu kental. Seluruh tubuhnya mulai kaku. Pepohonan di sekitarnya turut bergetar. Tetapi sungai terus mengalir menghantam sosok yang terjagal di batu besar itu. Kesunyian malam semakin menyiksanya. Ia melihat sosok itu tetapi tak bisa menggapainya. Sungai itu terasa semakin dalam. Air terus bertambah, bersamaan dengan semakin banyak limbah yang tertumpah. Terus bertambah dan bertambah. Mengekang. Ingin menangis tetapi tidak bisa menangis. Ia seperti burung pipit yang kehilangan sayapnya. Sangat menderita.
Ia mencoba untuk mendekati sosok itu. Ingin memastikan apa yang terjerembab di sungai kecil yang membuat hatinya lega. Tetapi langit tak mempu menahan air yang bergumpal dalam mendung. Cahaya kilat sambar-menyambar menari-nari. Guntur sambung-menyambung, seperti bunyi bedil anak-anak desa. Tak terdengar desingan mesin pabrik. Seluruh bumi menjadi basah, juga sungai itu ada yang tercabut. Angin kencang berlari mengelilingi seluruh bumi. Dasyat.
Namun, sosok itu masih tampak meremang tergenang air. Bergoyang mengikuti tumpuan arus yang menghantamnya. Bila deras, sosok itu tampak menyembul jelas, warna putih merah. Bila agak tenang, sosok itu tergenang. Menyurutkan langkah.
Lama-kelamaan sosok itu mengecil, mengecil, dan akhirnya menghilang diculik arus deras dan ditelan gelapnya malam. Orang itu hanya bersandar lapuh menatapnya. Ingin berteriak menyebut nama Gayu si Enggang kecilnya, tetapi tak mampu. Ia ingin hanyut dan tenggelam bersama sosok itu, tetapi….. tidak dilakukannya. Sementara hujan semakin lebat bersamaan dengan ganasnya kilat guntur dan gemuruh.
Air terus mengalir, di depannya meliuk-liuk meraba lekukan sungai. Riang lincah sepanjang musim. Ajaib. Menghantam lumut di bebatuan. Menggandengkan pasir pada aliran. Mendesir bagaikan hujan badai di padang gurun. Ramah dan tulus menyatu dengan limbah. Terus mengalir dan mengalir, seolah-olah tidak merasai keretap jantungnya, juga sinar matanya, apalagi…..di benaknya hadir kembali “Ma, Mama, aku pulang, aku pulang”. Juga ubi rebus yang tergeletak lapuh di bakulnya.
Nessun commento:
Posta un commento