Hal-hal yang merugikan, kerapkali mengajarkan!!! Oleh karena itu, belajarlah selalu atas pengalaman-pengalaman yang lalu untuk menatap masa depan dengan menjalani hari ini dengan hati dan budi sesuai kehendak Allah! sebab dalam salib ada keselamatan, In cruce salus...
Visualizzazioni totali
Benvenuti........
Para pembaca sekalian, selamat datang, selamat bergabung di blog ini. Fratelli e Sorelle, Ben Venuti!!!
martedì 9 novembre 2010
Italiano (2): La vita eterna
La vita eterna ci è stata aperta dal Mistero Pasquale di Christo e la fede è la via per raggiungerla. Il figlio dell’uomo non è venuto per essere servito, ma per servire e donare la vita. Dio non spadroneggia, ma ama senza misura. Non manifesta la sua onnipotenza nel castigo, ma nella misericordia e nel perdono.capire tutto questo significa entrare nel mistero nella salvezza. Gesu è venuto per salvare e non per condannare; con il Sacrificio della Croce egli rivela il volto di amore di Dio.
Renung (2): Cor *Juli 2009*
Berbicara dengan hati jauh lebih mendalam daripada dengan pikiran dan rasio semata.
Cor ad Cor Loquitur adalah bahasa Latin yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Heart Speaks to Heart dan dalam bahasa Indonesia secara harafiah diterjemahkan menjadi “hati berbicara kepada hati”. Hati berbicara kepada hati: hati Allah kepada hati manusia, dalam keterbatasan diri akan cinta yang adalah inkarnasi dan dalam ungkapan yang terus menerus yakni cinta dalam hidup sakramental Gereja, hati manusia berjuang untuk tinggal dalam realitas ilahi. Hati manusia mengetahui bahwa cinta Allah tinggal di dalam hati manusia dan dalam hati saudara seiman Kristianinya yang mencari iman dengan keraguan yang meragukan. Cor ad Cor Loquitur adalah dialog Newman yang berbicara kepada banyak (hati) orang di Oxford Birmingham dan di Roma kepada generasinya sendiri dan dia juga berbicara dengan kekuatan penuh pada kita sekarang ini. Lihat Geoffrey Rowell, Cor ad Cor Loquitur: Choice of His Cardinalatial Motto as A Pointer to His Understanding of Christian faith and Its Communication dalam “Symposium 9-12 Oktober 1979: John Henry Newman Theologian and Cardinal”, hlm. 73.
Renung (1): Salib *14 Sept 2009*
“…Sebelum menderita, Putera-Mu memohon,
Bagi-Mu tidak ada yang mustahil, Bapa
Tetapi jauhkan cawan itu dariku,
Bukan karena kehendaku, Bapa
Kau tahu, karena kehendak-Mu pula, kami berkumpul dan berdiri di sini…..”
Gelap menajam. Cahaya kusut tersaput kabut merapat
Angin sebentar diam. Cuaca mati, tetapi hawa menyengat
Lalu seperti senyap. Jam memberat tersendat di dua belas lewat
Dan sebelum yang ketiga, tubuh itu meneteskan darah.
Akhirnya, kita juga yang terlelap dalam penat
Setelah beribu waktu hanya menyisakan sejumput kenangan
Dan lembar-lembar catatan
Yang tak seluruhnya terselesaikan.
Kita tak pernah sepenuhnya mengerti
Akan salib Yesus yang tak bisa dipungkiri.....
Dalam perjalanan hidup, kita mengalami berbagai hal;
Baik yang menggembirakan maupun yang menyedihkan.
Di saat kita bahagia, kita merasa bahwa saat itulah Allah membopong kita.
Kita merasa bahwa siapa saja memperhatikankita. Namun, tak luput pula kita mengalami bimbang ragu, ataupun takut akan arah hidup kita.
Mungkin saat ini, kita berada dalam suasana berharap, cemas, takut dan sebagainya.
Saat ini, kita bersama merenungkan
bagaimana Yesus dengan taat memikul beban beratnya.
Kita bersama menyadari bahwa kehendak Bapa lah yang terjadi
Dan dengan ketaatan yang sama, kita meresapkannya dalam hati.
English (3): Blank *22 Juli 2008*
“I believe that if we stopped thinking about such matters and just let ourselves go throuh the day in a completely thougtless state, the world would be a better place. Just remember that if it doesn’t you must be doing something wrong. You must be thinking. Don’t. Blank: The Power of Not Actually Thinking at All.
Cerpen (1): Enggang Kecil (4/7/2008)
Mengenang seorang teman kuliah yang telah tiada yang sudah memberi warna dan makna
Jejaknya tercecer di sepanjang tepi kali. Ada semak dan pohon kecil patah terkulai. Rerumputan liar saling tindih, juga ilalang tersibak lunglai. Kacang-kacang pembunuh ilalang tampak tertindas. Masih terbersit hembusan nafas yang tergesa-gesa seperti nafas para pemburu mengejar mangsa. Tampak sosok sedang bersandar pada sebatang tunggul hitam di pinggir kali itu.
Ia “terdampar” ketika mentari seperti bertengger di dahan jati. Udara panas dan bau dari cerobong raksasa menyesak dan menyengat. Daun kelapa sawit saling bertabrakan tertiup angin. Langit seperti warna ungu kelabu tertumpah pada kanvas sang pelukis. Sementara itu, kaki sosok tadi mengeluarkan bau darah membusuk. Matanya tampak basah kelu kuyu. Burung-burung menyepikan diri ke negeri seberang.
Air terus mengalir, di depannya. Meliuk-liuk meraba lekukan sungai. Riang lincah sepanjang musim. Ajaib. Menghantam lumut di bebatuan. Menggandengkan pasir pada aliran. Mendesir bagaikan hujan badai di padang gurun. Ramah dan tulus menyatu dengan limbah. Terus mengalir dan mengalir, seolah-olah tidak merasai keretap jantungnya, juga sinar matanya.
Ia terdiam seperti patung lusuh tertanam di pojok kota kumuh. Lama sekali. Tampaknya ia telah menjejaki pinggir kali yang begitu panjang. Dari muara hingga ke hulu. Apa yang dilakukannya?
Ia menatap air yang terus beriak lincah mengalir tetapi Ia tidak melihatnya. Ia mendengar gemericik air menghantam bebatuan tetapi ia tidak mendengarkannya. Ia menyandarkan raganya pada tunggul, tetapi ia tidak merasainya. Ia menanti sesuatu tetapi tidak menginginkannya.
Sungai kecil itu terus mengalir. Namun, ia masih “tertanam” di sana. Keringatnya beku di badan. Pakaiannya seperti sudah menyatu dengan tubuhnya. Kadang-kadang telinga bergetar tidak kuasa menahan ruangan mesin pabrik, menggelegar membahana. Kadang juga matanya menyipit menahan udara pedas dan pekat. Kadang juga tenggorokannya kerontang menahan dahaga, meski ada air beriak di depannya. Kadang juga ia menggenggam hampa jemari tangannya yang keriput.
Ia terpaksa berhenti, setelah berhari-hari menjelajahi hamparan luas pemukiman. Menjenguk dengan teliti setiap lubang sumur tetangga. Menapaki dengan hati-hati setiap relung sunyi gang-gang gelap ganas. Menanyai setiap ordang yang berlintasan dengannya. Bertelut kusyuk di hadapan Tuhan. Merindu dan merintih di setiap detak jarum jam.
Tetapi, dengan sengaja ia menunggu. Menunggu dengan sejuta harap, sesuatu yang tak menentu. Tampak dari sinar matanya yang kadang redup, kadang berbinar, kadang juga kuyu menyimpan teka-teki.
Di tebing sungai itu, ia akan membiarkan senja memasuki malam untuk menanti seseorang atau sesuatu apalah. Ia tidak peduli meski hari akan berganti.
Wajahnya masih menghadap ke sungai itu. Ya, sungai yang menjadi teror bagi setiap manusia. Yang memisahkan pemukiman menjadi dua kubu. Kubu Rasau Jaya dengan Tiong Perkasa. Yang menghilangkan jejak-jejak bocah-bocah nakal. Yang mengubah tubuh mungil menjadi kembang dan mengerikan. Siapapun tidak mengira sungai itu mengancam. Karena ia jernih seperti sungai lainnya. Meski limbah pekat menggaulinya.
Rimbunan daun kelapa sawit terkadang menghalangi tatapan matanya. Angin senja meniup-niup “rongsokan” rambutnya yang terurai kumuh. Namun, ia masih mengintai. Ia tidak mengintai tetapi…
Sekejap terlintas suara yang memanggilnya: “Ma, mama, aku pulang, aku pulang”, lalu muncul sosok mungil dari kejauhan berseragam merah putih. Dengan semangat disergapnya ubi rebus di dalam bakul. Tetapi mungkin kini, ubi rebus itu tergeletak lapuh di makan rayap dan ngegat. Atau, nyanyian bocah lelakinya dengan suara jernih melengking tinggi menyapu angkasa. Beberapa tetes air beku berjingkrak keluar dari celah-celah kelopak matanya, dibiarkannya.
Aku masih punya sedikit tanah di kampung. Mestinya tidak kutinggalkan. Tetapi sulit juga memilih. Ikut transmigrasi salah, tidak ikut malah tambah salah. Sudah terlanjur menyerahkan tanah pada pemerintah. Kalau tidak ikut, malapetaka. Seperti keluargaku yang lainnya. Tetapi aku tidak ingin jadi pahlawan. Aku pengecut. Bapakku juga pengecut. Eh, eyangku juga. Sepertinya memang sudah nasibku jadi pengecut. Mudah-mudahan “tidak” pada anakku, Gayu.
Kadang juga lucu. Bila ingat sesuatu ingin rasanya tertawa lepas. Masak orang asli bertransmigrasi di kampungnya sendiri. Kalau tidak demi Gayu anakku itu, pasti aku sudah menyadap karet seperti dulu. Di kampung. Dingin. Sejuk. Sepi. Alami. Tentu tubuhku tidak hangus, tiap hari dilalap sinar mentari. Tulang-tulang rasanya begitu cepat menua. Setiap hari pergi-pulang ke kapling sawit. Menyiangi. Memupuki. Meracuntikuskan. Menyemprot. Memanen. Capek. Bosan. Muak. Brengsek.
Ah….sudahlah. tapi Gayu sekarang di mana? Ia masih kecil. Suka bermain di sungai itu. Sumur di samping rumahku sebetulnya bersih. Tetapi ia anak desa, asing dengan sumur. Ia suka bermain di sana berhari-hari, meski hanya sendiri.
“Aku takut sekali…..”
Malam merayap. Gelap menyelubungi tepi sungai itu. Suara jengkring menunggu kesunyian pemukiman. Air terus mengalir, di depannya. Meliuk-liuk meraba lekukan sungai. Riang lincah sepanjang musim. Menghantam lumut di bebatuan. Menggandengkan pasir pada aliran. Mendesir bagaikan hujan badai di padang gurun. Ramah dan tulus menyatu dengan limbah. Terus mengalir dan mengalir, seolah-olah tidak merasai keretap jantungnya, juga sinar matanya.
Ia melangkah, meski tidak sempurna. Mengitari tebing licin dan juga berbahaya. Menyibak rimbunan semak yang menyatu dengan pohon kelapa sawit. Masih tersisa beberapa relung yang belum dijejakinya. Ia memasang telinganya, barangkali hadir kata seperti: “Ma, Mama, aku pulang, aku pulang”.
Ia berusaha membuka kedua matanya yang telah mengelepak. Tiba-tiba jantungnya berdebar kencang. Langkahnya terganjal pada suatu lekukan sungai. Di bawah bayang remang-remang cahaya rembulan yang terpantul di atas air, tampak sesuatu terapung. Sekilas seperti tubuh manusia, namun juga seperti ranting pohon yang patah.
Ia berusaha mendekat dengan perlahan. Membiarkan kedua kakinya basah menyelami sungai. Tidak terlalu dalam. Menjejaki bebatuan licin dan tajam. Menghampiri sosok yang terganjal melintang di batu besar di tengah-tengah sungai itu.
Ia memberanikan diri mendekatinya, melawan tumpuan arus menghantam tubuhnya. Ia hampir meraih sosok itu, tetapi semakin dekat sungai justru semakin dalam. Air sudah menggenangi lehernya. Nyaris ia terpeleset pada batu licin yang tertanam di dasar. Air semakin deras, dingin, mengancam. Jangan-jangan ular liar mematoknya. Atau kepiting, lintah atau apa sajalah. Tetapi tidak mungkin. Sungai itu telah lama kosong. Kehidupan di dalamnya telah lama punah. Sejak gemuruh membahana membelah angkasa berikut asap pekat mendupai mega. Terpaksa ia mengurungi niatnya mendekati sosok itu.
Malam semakin menjauh. Langit tampak menghitam. Cahaya bulan meredup. Sebentar lagi menghilang di balik mendung. Tampaknya langit akan mengguyuri semesta. Bila ya, tentunya sosok itu akan hanyut dan menghilang di telan arus deras.
Sayup-sayup suara mesin pabrik masih menggetarkan kedua telinganya, bertindih dengan riuhnya arus mengalir. Kadang juga matanya menyipit menahan udara pedas dan pekat. Kadang juga tenggorokannya kerontang menahan dahaga, meski air nyata merendaminya. Kadang juga ia mengatupi kedua ujung bibirnya rapat-rapat. Ia gamang mau meneruskan langkah.
Di atasnya berdecit burung pemakan bangkai. Juga bunyi dengung lalat-lalat mengerumuni sosok itu menambah riuhnya malam. Melintasi kepalanya dengan sibatan buas, seperti rudal mengincar sasaran. Riak air menghantam bebatuan, timbul tenggelam.
Dengan niat yang tersisa, ia berusaha mencapai tebing, melawan derasnya arus. Barangkali istirahat sejenak. Menanti bulan kembali tersenyum dalam sisa-sisa malam. Juga menghimpun tenaga, meski berhari-hari perutnya tidak disinggahi butiran nasi.
Lama ia terpaku menatap sosok itu yang masih terjagal di batu besar itu. Bingung. Penasaran. Takut. Senang? Bulu kuduknya meremang. Seluruh tubuhnya tampak bergetar. Dibenaknya hadir kembali “Ma, Mama, aku pulang, aku pulang”. Juga, ubi rebus yang tergeletak lapuh di bakulnya. Dimakan rayap dan ngegat. Serta bangunan megah bercerobong raksasa di hulu sungai itu terus bergemuruh mengasapi semesta raya. Mungkinkah di sana itu Gayu anaknya?
Bayangan itu begitu kental. Seluruh tubuhnya mulai kaku. Pepohonan di sekitarnya turut bergetar. Tetapi sungai terus mengalir menghantam sosok yang terjagal di batu besar itu. Kesunyian malam semakin menyiksanya. Ia melihat sosok itu tetapi tak bisa menggapainya. Sungai itu terasa semakin dalam. Air terus bertambah, bersamaan dengan semakin banyak limbah yang tertumpah. Terus bertambah dan bertambah. Mengekang. Ingin menangis tetapi tidak bisa menangis. Ia seperti burung pipit yang kehilangan sayapnya. Sangat menderita.
Ia mencoba untuk mendekati sosok itu. Ingin memastikan apa yang terjerembab di sungai kecil yang membuat hatinya lega. Tetapi langit tak mempu menahan air yang bergumpal dalam mendung. Cahaya kilat sambar-menyambar menari-nari. Guntur sambung-menyambung, seperti bunyi bedil anak-anak desa. Tak terdengar desingan mesin pabrik. Seluruh bumi menjadi basah, juga sungai itu ada yang tercabut. Angin kencang berlari mengelilingi seluruh bumi. Dasyat.
Namun, sosok itu masih tampak meremang tergenang air. Bergoyang mengikuti tumpuan arus yang menghantamnya. Bila deras, sosok itu tampak menyembul jelas, warna putih merah. Bila agak tenang, sosok itu tergenang. Menyurutkan langkah.
Lama-kelamaan sosok itu mengecil, mengecil, dan akhirnya menghilang diculik arus deras dan ditelan gelapnya malam. Orang itu hanya bersandar lapuh menatapnya. Ingin berteriak menyebut nama Gayu si Enggang kecilnya, tetapi tak mampu. Ia ingin hanyut dan tenggelam bersama sosok itu, tetapi….. tidak dilakukannya. Sementara hujan semakin lebat bersamaan dengan ganasnya kilat guntur dan gemuruh.
Air terus mengalir, di depannya meliuk-liuk meraba lekukan sungai. Riang lincah sepanjang musim. Ajaib. Menghantam lumut di bebatuan. Menggandengkan pasir pada aliran. Mendesir bagaikan hujan badai di padang gurun. Ramah dan tulus menyatu dengan limbah. Terus mengalir dan mengalir, seolah-olah tidak merasai keretap jantungnya, juga sinar matanya, apalagi…..di benaknya hadir kembali “Ma, Mama, aku pulang, aku pulang”. Juga ubi rebus yang tergeletak lapuh di bakulnya.
lunedì 8 novembre 2010
Italiano (1): Una volta
Una volta, un leone dormiva profondamente nella foresta. Aveva una testa grande appoggiata sulle gambe. Un piccolo topo accidentalmente andava a piedi nelle vicinanze all’ improvisso si occorse che stava camminando davanti a un leone che dormiva. Il topo si spaventò e corse veloce. Ma a causa della paura, correva sul naso del leone. Il leone si sveglivò e molto arrabbiato catturò il topo con gli artigli enormi.
“Perdonami!” disse il topo. "Per favore, liberami e un giorno lo farò ripaghare". Leone si muse e ridere al pensiero che un topolino sarà stato in grado di aiutarlo. Ma con un cuore buono, il leone poté lasciare andare il topolino.
Un giorno, quando il leone cercava la sua preda nella giungla, è stato catturato da reti che sono stati dispersi dai cacciatori. Perché non pottete liberarsi, il leone ruggi di rabbia per l'intera foresta. Il topo sentitò il ruggire del leone e ci corse. Il topo vide il leone che lottava; poi morse e tagliò la corda. Finalmente, il leone fu libero.
"Tu sei messo a ridere quando ho detto che avrei risposto per le vostre buone azioni", ha detto il Topo. "Ora hai visto anche se sono piccolo, ma ti ho potuto salvare."
English (2): Introduction profound prayer
Il Libro: “Introduction Profound Prayer”, Mariano Ballester SJ.
Lo studio assimilativo
The human being has two aspects in his life to communicate with God. In Paul Claudel, there are animus and anima. The Animus and anima are two aspects, or dimensions of the human being. The two of them dwell in the same house and they would be enormously happy if they understood and love each other. Anima has had the right to speak as freely as she wished while animus listened to her ecstatically. The authentic integration of human being ought to take into account in equal measure both animus and anima.
The mode of prayer is not only about one thing but we will call “profound prayer”. There are five aspects and they live together in all stages and most situations oh human life. The first one is prayer. Profound prayer tends above all to elevate us toward God. Prayer needs to become more radical, more absolute and more unity so that the prayer can ascent to God. The second aspect is profundity. In profundity, one seeks to elevate oneself by beginning from the most intimate roots of one’s being. It is from the particular dimension proper to anima.
The following aspect is integration. The profound prayer intends to integrate the person. When one’s openness to God is more complete, one will have found the art of living and sharing with the others about one’s encounter with God. That is way, it’s necessary to make integrate harmoniously all the aspects oh the human personality. The other aspect is experience. Many times this type of experience reaches the limits of human experience. But, we must not just to express that successful but assimilate and live it.
The last aspect is love. Love is very important for our prayer. We must keep our capacities of love increase to purifying and elevating itself. One of the most beautiful characteristics of this love is its universality. Sensing one-self united with the Supreme Being, with the One who is. This is a loving realization of the ideal proposed by the Christian prayer par excellence: Thy kingdom come.
Lo studio creativo
Prayer is always most important for our life. The method of prayer for human being today is not same with the ancient time. There are so many ways to communicate with God. Every people have the different way to pray. So, what is the true prayer? How to pray well? We read this book because it suggests us how to pray. It’s not just about one thing that is prayer, but it contains many things so that we call that “profound prayer”. After read this book, we will know what prayer is. And we can answer many questions about prayer daily life.
One definition of prayer is ascent to God and this ascent can start from many different levels, because not every way of prayer is equal in depth. In Introduction to Profound Prayer Father Ballester contends that one aspect of profound prayer is that the dynamism of this ascent, this elevation, is infinite in breadth, length, height, and depth. With profound prayer, then, one seeks to elevate oneself toward God by beginning from the most intimate roots of one's being: the richest, deepest, most profound part of the person.
The three characteristics of profound prayer are its tendency to elevate us towards God, its profundity or depth, and its aim of integrating the whole person. Profound prayer is not a common prayer; this book is for those who feel drawn to deepen and unify their personal prayer. Thus, in Introduction to Profound Prayer Father Ballester considers the whole human being-body and spirit, social and individual dimensions, contemplation and action, and manifest and latent faculties.
Iscriviti a:
Post (Atom)